Abstract
Muncul pada tahun 2009, aplikasi WhatsApp (WA) pelan tapi pasti mulai menjadi alat komunikasi yang paling digemari oleh masyarakat luas. India adalah negara dengan pengguna WA terbesar yaitu sebanyak 200 juta pengguna aktif bulanan (www.detik.com). Fenomena ini juga tergambar di Indonesia. Di setiap telepon pintar para individu baik kelas ekonomi atas sampai rendah sekalipun, asalkan punya telepon pintar dan mampu berlangganan internet dengan paket murah seperti harian atau mingguan, maka dapat dipastikan menggunakan WA dan memiliki minimal 1 grup WA. Minimal grup WA keluarga. Sehingga tidak mengherankan jika setiap pekerja yang menggunakan WA pasti memiliki grup WA yang berkaitan dengan kerjanya. Tujuannya untuk memudahkan komunikasi dan kordinasi. Masalahnya, tidak semua orang siap dan sadar bahwa grup WA yang mereka miliki mempunyai karakter dan konteks yang berbeda. Banyak yang sering alpa bahwa grup kerja itu berbeda dengan grup sekedar teman, grup keluarga dan berbagai bentuk grup dengan variasi lainnya. Mindfulness communication yang terdiri dari kesadaran dalam berkomunikasi, memahami konteks komunikasi dan konteks komunitas serta kesadaran akan keterbatasan dari aplikasi WA itu sendiri, masih sangat diperlukan sehingga tidak menimbulkan salah paham yang berujung pada konflik di dunia nyata. Sering ditemukan konflik terjadi akibat salah paham atau salah menempatkan diri atau salah mengirim pesan dari grup WA. Padahal sesuai dengan Social informatioan processing theory, komunikasi melalui teks mempunyai banyak keterbatasan terutama karena semua pesan, ekspresi dan emosi hanya bisa disampaikan melalui teks dan memakan waktu dalam berkomunikasi akibat dari waktu yang dibutuhkan untuk mengetik. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberi pencerahan bahwa penggunaan teknologi dalam memudahkan kehidupan manusia khususnya dalam pekerjaan semestinya tetap tidak mengurangi kesadaran kita dalam berkomunikasi pada konteks dan komunitas mana. Biar bagaimanapun, percakapan tanpa berhadapan langsung mempunyai keterbatasan yang harus dihadapi. Melalui pendekatan Kualitatif dan metode studi kasus, maka diharapkan penelitian ini dapat menjadi contoh yang bisa diterapkan pada komunitas lain yang kurang lebih serupa. Yang pada akhirnya, teknologi ini dapat benar-benar membantu pekerjaan dan urusan kedinasan tanpa harus berujung konflik.