Abstract
Terdapat perbedaan mekanisme penanganan pengungsi yang dilakukan oleh negara-negara transit di Asia Tenggara. Indonesia didukung oleh International Organization of Migration (IOM) dapat memberikan tunjangan per bulan dan penyediaan tempat tinggal di beberapa daerah penampungan pengungsi. Namun untuk kasus Aceh, dikarenakan pengungsi Rohingya ditempatkan dalam sebuah pemukiman (camp) khusus pengungsi yang difasilitasi secara logistik, tunjangan bulanan tidak diberikan. Mekanisme tunjangan tersebut tidak berlaku sama sekali di Malaysia. Tidak hanya terkait tunjangan hidup, terbatasnya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia oleh negara kepada pengungsi tak bernegara (stateless refugees) ini mendorong munculnya organisasi berbasis komunitas (community based organization) yang dibentuk oleh para pengungsi Rohingya. Dalam melakukan advokasi hak asasi manusia bagi anggotanya, organisasi-organisasi ini menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan terutama karena pengelolaan organisasi oleh staf dengan status hukum sebagai sesama pengungsi. Penelitian ini akan mengkaji peran dari organisasi berbasis komunitas pengungsi dalam advokasi hak asasi manusia dan mitigasi kerawanan pengungsi Rohingya di Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini juga melihat bagaimana aktifitas-aktifitas organisasi dijalankan dalam konteks sosial, politik, dan hukum migrasi yang berbeda di kedua negara tersebut. Lebih jauh akan dianalisis bagaimana keberadaan organisasi ini menjadi suatu mekanisme perlindungan yang melengkapi rezim hak asasi manusia yang ada atau merupakan tantangan bagi kepentingan nasional negara transit.