Abstract
Lasem memiliki cerita kemenangan sejarah yang signifikan, baik secara sosial maupun budaya. Lasem dulu dan masih merupakan tempat kehidupan multietnis dengan segala dinamikanya. Seiring berjalannya waktu, kualitas fungsional, visual dan lingkungan di Lasem mengalami penurunan atau penurunan, terkait dengan penurunan aktivitas ekonomi, termasuk produksi batik di rumah bertembok. Strategi perancangan kota yang tepat sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan tersebut. Bangunan bersejarah terutama yang memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya, perlu beradaptasi, dimana fungsi pada bangunan mempertimbangkan kebutuhan kontemporer dan dapat digunakan secara optimal tanpa harus mengubah atau merenovasi dalam skala besar dan membuang energi. Salah satu strateginya adalah penggunaan kembali secara adaptif (adaptive re-use), mengusulkan kerangka, kriteria dan skema yang diharapkan dapat menjadi solusi alternatif untuk mencapai arsitektur berkelanjutan bangunan cagar budaya secara fungsional, lingkungan dan ekonomi. Identitas Lasem sebagai China Town dibangun dan dikembangkan dari waktu ke waktu, dan warisan arsitektur Tionghoa adalah salah satu kualitas dan identitas utama kota. Baru-baru ini, warisan arsitektur Tiongkok yang unik ini telah diubah untuk kebutuhan pariwisata. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis transformasi fungsi atau penggunaan kembali secara adaptif berdasarkan budaya setempat, dan dampaknya terhadap bentuk dan makna warisan arsitektur Cina kota, dan berfokus pada apakah intervensi yang terjadi sesuai dengan prinsip konservasi arsitektur dan mendukung tercapainya keberlanjutan arsitektur. Rumah batik tulis tyang saat ini berkembang di Lasem sebagian menempati bangunan cagar budaya yang dengan pengaruh budaya setempat yang khas. Arsitektur pada rumah batik sebagian dipengaruhi oleh budaya Peranakan. Beberapa bangunan rumah batik merupakan bangunan rumah banteng/ walled house, yang memiliki karakter yang khas dengan elemen gerbang pada bagian entrans nya. Sebagian rumah batik juga berfungsi untuk beberapa aktivitas, antara lain dengan fungsi utama sebagai hunian, workshop batik, retail bahkan fungsi hostel. Karena perkembangan tuntutan fungsi yang berkembang, maka beberapa ruang mengalami adaptasi fungsi. Namun demikian belum terdapat pemetaan zona atau area yang jelas pada bangunan rumah-rumah batik ini, sehingga menyebabkan batasan-batasan zona atau area masih kurang jelas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analisis secara lingkungan, arsitektur serta desain interior. Pengumpulan data melalui studi literatur maupun survey lapangan tentang adaptive reuse, referensi dan contoh kasus bangunan cagar budaya, wawancara dengan narasumber, observasi stakeholder sebagai pengguna ruang serta bangunannya secara langsung maupun melalui dokumentasi berupa foto-foto maupun video. Data-data ini kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan arsitektural baik dalam skala analisis makro (kawasan) maupun mikro (bangunan). Melalui analisis makro dan mikro diharapkan dapat ditemukan relasi antara budaya dengan pendekatan adaptive re-use yang mempertimbangkan konteks serta elemen perancangan kota yang meliputi aspek visual/ estetikal dan fungsional, khususnya pada studi kasus rumah batik di Lasem
Keywords
Lasem, bangunan cagar budaya, adaptive reuse, rumah batik tradisional, budaya, heritage.