Abstract
The right to be forgotten (selanjutnya disingkat RBF) adalah jenis hak baru yang diklaim sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak ini muncul setelah lahir putusan the Court of Justice of the European Union yang mengadili perkara Google Spain melawan agensi perlindungan data/Agencia Espaola de Proteccin de Datos (AEPD) dan Mario Costeja Goanzlez pada bulan Maret 2014. Oleh karena putusan ini menyangkut hak seseorang untuk mendapatkan penghapusan data/informasi yang terlanjur beredar di dunia siber, dan dengan demikian dapat terus-menerus dapat diakses oleh siapapun, maka persoalan RBF akan bersentuhan dengan banyak orang dan berbagai sistem hukum. Dapat dipastikan sistem hukum positif di Indonesia pun akan ditantang untuk juga menjawab problematika hukum terkait RBF ini, sehingga pertanyaan tentang pengakomodasian RBF dalam sistem hukum nasional Indonesia menjadi isu menarik untuk dideskripsikan. Sejak direvisinya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat UU-ITE), konsep RBF telah diatur. Tetapi yang menjadi masalah, rumusan norma dari UU-ITE mensyaratkan pengaturan teknis. Secara implisit hal ini menunjukkan bahwa pengaturan RBF dalam sistem hukum Indonesia belum memiliki konsep yang matang. Dari pemaparan ini dapat dipreskripsikan kemudian seperti apa pengaturan RBF yang lebih ideal di dalam sistem hukum Indonesia di kemudian hari. Dimensi deskriptif dan preskriptif di dalam penelitian ini akan berangkat dari kepentingan nasional Indonesia di dalam melindungi hak-hak warganegara Indonesia sebagai pribadi (untuk dilindungi hak-hak privasinya dalam hukum siber) maupun sebagai anggota masyarakat (untuk dilindungi haknya mencari informasi). Penelitian ini menggunakan pendekatan studi dokumen dengan triangulasi data melalui pelaksanaan focus group discussion (FGD) dengan para pakar. Dengan memanfaatkan data/informasi yang tersedia di dalam peraturan perundang-undangan, artikel jurnal, dan putusan pengadilan dan masukan dari para pakar diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi landasan penting untuk mencermati kelemahan di dalam hukum positif Indonesia. Penelitian ini juga dapat menjadi peletak dasar studi komparasi untuk proses harmonisasi antar-sistem hukum terkait hak RBF di dunia siber khususnya dengan negara-negara di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.