Abstract
Minimnya tempat bermain sering dijadikan sebagai salah satu penyebab munculnya perilaku negatif sekelompok anak-anak yang tinggal di kawasan pesisir. Fenomena yang muncul pada sebagian besar masyarakat acapkali interpretasi yang muncul bila mendengar kata bermain adalah pemborosan waktu dan biaya. Terkait isu spasial, Sutton Smith, seorang peneliti tentang tentampat bermain, mengindikasikan bahwa tempat bermain anak mempunyai konsep yang berbeda dibandingkan dengan dengan tempat bermain yang direncanakan oleh para perencana. Being outdoors dapat diinterpreatsikan sebagai sesuatu yang ada di luar, baik yang bersifat formal, maupun non formal. Konsep yang berbeda tersebut sejalan dengan fenomena bermain anak yang kerap ditemui sedang bermain pada tempat-tempat yang semestinya tidak digunakan sebagai tempat bermain. Tempat bermain non formal ini dapat berbentuk [1] Area publik, mis : pantai [2]. Area private, mis : teras rumah, area parkir [3]. Area antara, drainage, lahan terbuka lainnya. Sementara itu disisi lain, khususnya di kawasan pesisir, keterbatasan lahan menjadi problema tersendiri, pengadaan lahan khusus untuk tempat bermain merupakan hal yang mustahil untuk dapat diwujudkan. Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan Rekayasa Spasial pada kawasan pesisir untuk menghasilkan spasial baru bagi anak yang dapat digunakan sebagai tempat bermain mereka. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam, pengamatan dialog anak usia 6 12 tahun yang tinggal di kawasan pesisir diharapkan mampu memahami perilaku bermain mereka dan ruang yang terbentuk. Dengan segala keterbatasan lahan penelitian ini diharapkan mampu member tempat alternative melalui rekayasa spasial.
Keywords
Bermain, Tempat Bermain, Anak, Spasial, Pesisir