Proses Riset dan Penalarannya dalam Ilmu-ilmu Empiris

1. Proses Riset

Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk penelitian ilmiah?

  1. Menyusun hipotesis-hipotesis (titik tolak: problem/anomali; observasi; perumusan problem)
  2. Mencoba memberi bukti dan penalaran atas hipotesis tsb.
  3. Hipotesis yang diperkuat mendapat status hukum
  4. Hukum-hukum serumpun diabstraksi menjadi teori ilmiah

 

Apa itu „context of discovery“dalam sebuah riset ilmiah?

Context of discovery adalah proses mengidentifikasi masalah berdasarkan munculnya anomali-anomali atau problem dan menyusun hipotesis untuk memecahkannya. Di dalam context of discovery peneliti menemukan kejanggalan-kejangalan yang muncul dalam hidup sehari-hari. Hidup sehari-hari ditandai oleh kebenaran-kebenaran yang diandaikan atau diterima begitu saja( taken for granted /selbstverständlich). Manakala kebenaran-kebenaran itu digoncangkan oleh sebuah anomali, muncullah problem. Contoh: kebenaran yang taken for granted -> horror vacui, geosentrisme, demam bersalin. Dari mana kebenaran ini? Dari anggapan seseorang atau suatu kelompok yang kemudian menjadi bagian dari akal-sehat (common sense) kita.

Apa itu context of justification suatu riset ilmiah?

Context of justification adalah proses memberikan pendasaran-pendasaran logis dari hasil-hasil temuan. Lewat proses reasoning ini hasil temuan dikomunikasikan dan memperoleh pengakuan di dalam sebuah komunitas para ilmuwan. Hukum dan teori ilmiah tercakup di sini. Di dalam context of justification peneliti mencoba mencari pendasaran/alasan rasional dari hipotesis-hipotesisnya dengan bukti-bukti empiris.

 

  1. Macam-macam Langkah Hipotetis

 

Bagaimana merumuskan hipotesis?

Dalam ilmu-ilmu empiris justifikasi sebuah hipotesis bisa melalui jalan yang berliku-liku. Sasarannya adalah memperkuat sebuah hipotesis dengan meruncingkannya menjadi semakin spesifik dan semakin konkret-empiris. Dengan kata lain, makin konkret dan empiris sebuah hipotesis dan makin mudah untuk dibuktikan salah, makin bermaknalah (sebut „ilmiah“) hipotesis itu. Sebaliknya, makin abstrak dan kurang empiris, makin sulit dibuktikan salah, makin kurang bermaknalah hipotesis itu. Langkah-langkah hipotetis itu adalah:

 

  1. Hipotesis yang diperluas: Hipotesis yang kehilangan isi empiris karena ditambahi dengan hipotesis pembantu yang kurang empiris, seperti: vacuum itu sebenarnya berisi ether
  2. Hipotesis yang diperinci: Hipotesis yang menjadi makin empiris karena dipersempit ke hal-hal konkret empiris, seperti: cuci tangan dengan larutan CaCl2 (untuk menangkal racun mayat); atau gerak mengitari matahari secara elips
3. Hukum Alam

Apa itu hukum alam? Dan bagaimana hubungannya dengan hipotesis?

Hipotesis yang makin konkret, pasti dan empiris berubah menjadi hukum alam. Cirinya: lebih berlaku umum, lebih niscaya, lebih eksplanatoris. Karena hukum berkaitan erat dengan hipotesis, hukum alam masih bersifat empiris.

 

Bagaimana tanda sebuah hipotesis telah berubah menjadi hukum?

Tanda bahwa hipotesis telah berubah menjadi hukum alam: bisa diaplikasikan secara teknis (justru karena kesahihannya). Catatan: Ilmuwan tetap skeptis terhadap pemakaian istilah hukum alam karena hubungan kausal tidak selalu bisa dibuktikan kebenarannya dan berciri metafisis (tak empiris).

Bagaimanakah bentuk rumusan dari hukum alam itu?

Bentuk linguistis dari hukum alam adalah penjelasan deduktif nomologis

Dalam hidup sehari-hari:

Mengapa air itu mendidih——————————-  explanans

Tentu saja, karena dipanasi sampai 100 derajat——  expalandum

  1. Hukum dan Generalisasi.

Apakah perbedaan antara hukum dan generalsasi belaka?

Perbedaannya: hukum dapat merupakan dasar „contrary-to-fact-conditionals“ (kontrafaktische Wennsatze). Misalnya, „bila air dipanasi 100 derajat, maka air akan mendidih“. Ini bisa merupakan hukum. Tapi „bila batu diletakkan dalam peti berisi besi, maka batu akan mengandung besi juga“ bukanlah hukum, melainkan generalisasi dari „semua isi peti adalah besi“.

 

Bagaimanakah hubungan antara hukum dan probabilitas?

Dari probabilitas yang ditarik dari kalkulasi statistis kita tak dapat menyimpulkan suatu hukum. Mengapa? Karena baik keberlakuannya maupun ketakberlakuannya bersifat tidak pasti dan tak dapat diterangkan secara deduktif-nomologis. Misalnya: Kemungkinan perampokan di bank terjadi saat bank sepi pengunjung. Bank X dirampok kemarin. Jadi, kemungkinan waktu itu bank X sedang sepi pengunjung.

Dalam percobaan dengan melempar coin atau mengambil kelereng kita menyimpulkan nilai kemungkinan berada di antara 0 dan 1. Probabilitas yang paling lemah adalah 0,001, sedangkan yang paling kuat adalah 0,999. „Di antara“ berarti tak pernah pasti, atau sekurangnya mendekati kepastian. Spektrumnya: improbablepossibleprobable.

Bagaimanakah ciri-ciri hukum yang bersifat barangkali?

Ciri-ciri hukum yang bersifat barangkali: implikasi hanya bersifat barangkali dan tak pasti; ketakberlakuan sebuah implikasi tak mengugurkan hukum (ketakberlakuannya termasuk dalam hukum juga); lebih bercorak deskriptif/laporan daripada prediktif.

5. Teori Ilmiah

Apakah teori ilmiah itu?

Hukum-hukum serumpun diabstraksi (dilucuti sifat konkretnya) menjadi teori ilmiah. Hukum (dan hipotesis) masih bersifat empiris, yakni bisa dibuktikan salah secara indrawi. Namun teori ilmiah mengelak untuk diperiksa secara empiris. Sifatnya abstrak  dan umum sekali. Akibatnya: tak terkalahkan dan tak tergugurkan. Peranan rasio dan logika lebih besar daripada pengalaman dan fakta. Tapi teori bukanlah metafisika. Mengapa? Karena dasarnya adalah kumpulan hipotesis dan hukum empiris. Teori adalah „jembatan rasional“ di antara mereka.

Contoh: Hukum: hukum gravitasi, pembiasan cahaya, magnetik

  •  Teori: teori atom, teori kuantum, teori cahaya, teori relativitas (ini paling abstrak)

Bagaimanakah struktur teori ilmiah itu?

Struktur teori: (1) internal principles: titik tolak penjelasan berupa model (misal: model atom); (2) bridge principles: penghubung antara model dan hukum-hukum yang mau diteorikan; (3) kesimpulan (kurang ketat daripada konklusi deduktif-nomologis).

Mario