Dr. Bens Pardamean on Liputan Khusus Kompas

link: http://lipsus.kompas.com/global_employability/who_we_are_read/id/14

bens

Dr. Bens Pardamean, Head of Bioinformatics Research Group Sr. Faculty Member of Computer Science Graduate Program Binus University.

KOMPAS.com – Untuk menjadi world class university, sebuah perguruan tinggi mutlak harus keluar dari konsep teaching university menuju research university. Teaching harus dilakukan, tetapi riset juga perlu dikembangkan.

“Keduanya butuh evolusi, tidak bisa langsung sekaligus dilakukan. Binus tengah mengarah ke sana. Kami mengarahkan semua profesor atau peneliti sekarang harus joint appointment, multi dispilin, bekerja dengan bidang lain. Belajar fisika saja kan harus diterapkan ke bidang apa saja, itulah multi disiplin yang harus dikembangkan,” ujar Dr. Bens Pardamean, Head of Bioinformatics Research Group Sr. Faculty Member of Computer Science Graduate Program Binus University kepada Kompas.com, awal pekan lalu.

Bens mengungkapkan, salah satu upaya mewujudkan hal itu dilakukan Binus dengan membangun Binus University Bioinformatics Research Group. Pusat riset ini disiapkan untuk mengadakan penelitian lebih jauh mengenai bioinformatic.

“Sekarang yang kami lakukan di sini adalah membina kerjasama dengan beberapa rumah sakit besar di Indonesia. Saya tawarkan ini ke Binus tiga tahun lalu. Ternyata tanggapan rektor Binus positif. Ya sudah, kami jalan,” ujar Bens.

Untuk langkah awal, Bens, sebagai “komandan” yang mengawal kolaborasi riset ini, Binus menggandeng RS Dharmais sebagai partner dan berjalan sampai sekarang ini. Dari situlah, lanjut Bens, bermunculan banyak penelitian dan kerjasama hingga menghasilkan beberapa tesis. Publikasi pun banyak keluar dari kerjasama bioinformatic hasil kolaborasi ini.

“Kebutuhan tenaga bioinformatika bertambah untuk membentuk penelitian dan riset-riset studi. Dengan demikian, dokter-dokter ini tertolong. Karena yang namanya bioinformatic ini memiliki tiga disiplin ilmu dan tentu harus ada medical science-nya, yaitu kedokterannya,” kata Bens.

“Namun, bukan itu saja, karena ada juga kebutuhan tentang tanaman atau hewan sehingga kita juga bekerjasama dengan Litbangtan di Bogor. Di situlah kami bekerjasama mengolah data-data genetika padi yang sudah dikumpulkan. Ini gunanya kerjasama untuk dianalisa dan dipublikasi secara nasional,” tambahnya.

Berangkat dari situlah, Bens memaparkan, Binus Bioinformatics Research Group mengembangkan penelitian yang potensi efeknya secara nasional, yaitu Pengembangan Sistem Registrasi Kanker (cancer registry). Di Indonesia, pusat penelitian seputar registrasi kanker memang belum ada.

“Di beberapa negara ASEAN lain sudah ada. Di Filipina dan Bangkok misalnya, itu sudah jalan. Kalau di Singapura jangan tanya lagi. Indonesia malah yang belum punya. Inilah potensinya, apalagi sebagai anggota WHO kita membutuhkan cancer registry itu karena kita wajib melaporkan seluruh insiden-insiden kanker di negara kita. Itu kewajiban kita sebagai member WHO,” tukas Bens.

Paling update

Kanker masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia, karena tingkat kematian yang disebabkan penyakit ini cukup tinggi. Jumlah ini dapat dikurangi jika deteksi kanker dapat dilakukan sedini mungkin.

“Di sinilah tugas kami, yaitu membahas bagaimana teknologi informasi dapat membantu keberhasilan pengendalian kanker melalui penggunaan perangkat lunak komputer untuk mendukung sistem registrasi kanker di Indonesia. RS Dharmais mengirimkan data-data atau hospital database, mengingat posisi Dharmais sebagai rumah sakit khusus kanker dan sebagai pusat kanker nasional. Jadi, bukan studi kasus, tapi site specific, locus-nya,” ujar Bens.

Bens mencontohkan kanker yang paling mematikan kaum perempuan di Indonesia, yaitu kanker payudara. Menurut dia, Indonesia belum memiliki database nasional tentang kanker payudara. Di situlah Binus Bioinformatics Research Group membentuk database tersebut.

Dia mengatakan, sudah ada kesepakatan antara Binus dengan Persatuan Onkologi Indonesia bahwa akan dibangun site specific untuk kanker payudara di Indonesia. Walau terdengarnya mudah, kata Bens, padahal mengkoordinasikan hal ini bukan perkara enteng, khususnya untuk menghubungkan para peneliti dan empat rumah sakit yaitu RSUP Dr. Sardjito (FK UGM), RSUP Dr Kariadi (Fakultas Kedokteran UNDIP), RS Sanglah (Fakultas Kedokteran Universitas Udayana), RS Wahidin Sudirohusodo (Fakultas Kedokteran Unhas), ditambah RS Dokter Hasan Sadikin Bandung (FK Unpad).

“Bukan hal mudah untuk para doktor setuju atau sepakat bahwa inilah bentuk database kita. Di situlah fungsi kita di pusat penelitian ini, yaitu mengarahkan mereka, para peneliti dan dokter di rumah sakit besar itu untuk bekerja sama tidak hanya menyelesaikan registrasi kanker nasional yang seharusnya sudah ada dari tahun-tahun sebelumnya, tapi juga site specific kanker payudara ini,” kata Bens.

Sebagai perguruan tinggi yang sudah lama berkecimpung di bidang information communication and technology (ICT), Bens mengungkapkan, peran Binus University di sini sangat besar. Para peneliti Binus akan bekerja sama dengan para dokter spesialis kanker dan peneliti lainnya dari beragam bidang untuk membentuk database.

“Kemudian, bekerja sama bagaimana mengolah datanya bersama-sama dan mempublikasikannya di jurnal-jurnal internasional,” ujar Bens.

Saat ini, pihaknya juga telah sepakat untuk mengadakan pelatihan dengan pihak WHO. Sebelumnya, di RS Dharmais pada April lalu, Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah pelatihan cancer registry untuk kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.

“Semua sudah dilatih bagaimana proses cancer registry yang paling update, yaitu versi 5. Ini diberikan gratis oleh WHO. Ada tantangannya buat kita, yaitu bagaimana mengaplikasikan teknologi ini di negara kita yang terdiri dari 14.000 pulau. Tentu, tak mungkin kan kita bisa sampai ke pedesaan-pedesaan di pelosok saat ini atau kecamatan. Tapi, kami punya skala prioritas,” ujar Bens.

Namun, Bens mengakui, saat ini registrasi kanker ini belum bisa diimplementasikan. Pusat penelitian ini masih mencari satu template yang cocok agar bisa diterima di Indonesia.

“Bioinformatic yang kami tangani ini kan human subject, data seseorang yang tak boleh diekspos dan harus dirahasiakan, tapi kan tetap harus diketahui. Nah, ini masih dalam proses dicari jalan keluarnya. Dari sisi regulasi pun masih menjadi kendala di sini, karena masih belum ketemu. Harus didahului dengan sidang komisi etik,” kata Bens.

“Ini tantangan kita sekarang. Kami masih menunggu Kementerian Kesehatan untuk memberikan petunjuk. Mungkin pengembangan yang kami lakukan belum prirotas. Jadi, daripada tidak bekerja, selama menunggu keputusan itu, karena sudah menjadi pusat riset, Binus dan RS Dharmais tetap menjalankan proyek penelitian ini bersama empat partner rumah sakit wilayah tadi,” tandasnya. (M LATIEF)