Terorisme dan Konten Negatif di Sosial Media

“Terorisme dan Konten Negatif di Sosial Media”

 

Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok ‘terduga’ teroris di Surabaya, Depok, Sidoharjo beberapa waktu lalu membuat emosi campur aduk. Emosi sedih, marah, bahkan kecewa entah pada pelaku maupun pihak lain. Peristiwa kekerasan terorisme merupakan suatu kejadian yang telah berlalu, namun efeknya masih terus dirasakan hingga saat ini. Efek yang terasa tidak hanya emosi, namun juga perilaku dalam berinteraksi secara online. Hingga hari ini, tersiar berita beberapa orang yang ditangkap oleh polisi karena melakukan posting pada sosial media berupa komentar baik itu bermuatan SARA atau ujaran kebencian. Tidak tanggung-tanggung. Pelakunya adalah para professional bahkan berprofesi sebagai kepala sekolah dan dosen. Apakah mereka tidak punya pengetahuan tentang ancaman pidana untuk posting dengan muatan ujaran kebencian dan SARA tersebut? Secara nalar kelihatannya para pelaku bukan orang yang tidak punya pengetahuan seperti itu.

Barangkali pada skala yang lebih kecil, ada begitu banyak orang yang berkomentar secara negatif mengenai peristiwa terorisme tempo hari dalam sosial media. Tulisan dengan konten negatif tersebut menjadi semacam stimulus bagi pembaca lain untuk bereaksi secara emosi negatif pula. Dalam konteks ini, orang pintar atau berpengetahuan tidak ada artinya bila tidak memiliki pengelolaan emosi yang baik. Berbagai peristiwa bisa berlalu-lalang di depan kita yang terkadang tidak dapat dikendalikan oleh kita sendiri, namun sesungguhnya reaksi emosi atas peristiwa itu dapat dikendalikan. Reaksi emosi yang muncul bisa berbeda setiap orang karena adanya strategi regulasi emosi yang berbeda. Strategi regulasi emosi inilah yang menjadi ciri adanya perbedaan antar individu. Regulasi emosi yang sebaiknya diterapkan adalah memikirkan terlebih dahulu respon apa yang sebaiknya dimunculkan, dan memikirkan bagaimana dampaknya bila hal itu dilakukan. Itulah regulasi emosi yang adaptif. Regulasi emosi ini diyakini dapat mengendalikan reaktivitas emosi seseorang sehingga tidak memuculkan perilaku yang negatif pula.

Rasanya manusia normal menginginkan adanya kedamaian di sekitar kita. Konten internet bermuatan emosi negatif merusak terciptanya kedamaian. Konten negatif juga dapat membuat emosi seseorang ‘terlatih’ hanya bereaksi secara negatif. Apakah Anda mengikuti saya dengan tidak posting konten negatif pada sosial media Anda?

 

(Esther Widhi Andangsari)

Esther Widhi Andangsari