PENCEGAHAN KORUPSI DINI: KEPUTUSAN SISTEM DUKUNGAN UNTUK PRESIDEN ATAS PENCEGAHAN AWAL REPUBLIK INDONESIA

Korupsi pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebagai bentuk inefisiensi suatu lembaga yang tercermin dari lemahnya sistem birokrasi, lemahnya sistem legislatif dan yudikatif.

Kenaikan 1% tingkat korupsi bisa mengurangi laju pertumbuhan sekitar 0,72% yang terkena dampak ketidakstabilan politik, tingkat modal manusia dan bagian dari investasi swasta, dan Korupsi mempengaruhi penurunan produktivitas karena skema alokasi tidak akan optimal dan juga Kualitas investasi juga akan menurun sehingga kebutuhan masyarakat akan terabaikan, Istilah korupsi muncul sejak tahun 1868. Godkin membahas korupsi dalam politik dan pemerintah dan upaya peningkatan sosial. Pada tahun 1987, muncul model itu menjelaskan peluang untuk korupsi, Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah dan mengurangi korupsi.

Transparency International Indonesia (TII) adalah salah satu cabang di Transparency International (TI). Darussalam, untuk menegakkan pengawasan hukum dan tidak campur tangan politisi dalam penyidikan pejabat pemerintah. Dalam konteks Indonesia, pengukuran korupsi memiliki paradigma dan paradigma yang berbeda pendekatan, yaitu pengukuran harus sesuai dengan konteks multi etnis Indonesia. Pengukurannya adalah diperlukan mengingat korupsi merupakan tindak pidana luar biasa yang harus ditindaklanjuti karena dapat berupa penyebab utama kecurangan politik dan kekuasaan.

Instrumen ini diberi nama Corruption Early Prevention (CEP) sebagai Decision Support Sistem Presiden Republik Indonesia, yaitu instrumen real-time yang dapat menyediakan lebih awal peringatan kepada pemerintah pada lembaga atau pejabat yang diidentifikasikan dengan korupsi dengan melibatkan partisipasi publik dari semua komponen pemerintahan yang baik. CEP (Corruption Early Prevention) dirancang sebagai sistem cerdas yang mendukung keputusan presiden.

Penelitian ini menggunakan Metode Neuro-Research, ini adalah salah satu metode campuran yang antara kualitatif penelitia (disebut sebagai penelitia eksplorasi) dan penelitian kuantitatif (disebut penelitian penjelasan dan penelitian konfirmatori). Ada tiga tahapan dalam metode Neuro-research yaitu eksplorasi, penjelasan dan tahap konfirmasi. Tahap pertama penelitian eksplorasi dilakukan dengan meninjau variabel secara teoritis, Tahap kedua berdasarkan hasil teknik Delphi, dilanjutkan dengan penelitian kuantitatif yang melalui penelitian penjelasan. Pada tahap ini instrumen menggunakan formulir asesmen. Tahap ketiga, berdasarkan hasil analisis tahap kedua, didahului dengan penelitian Konfirmatori.

Konstruksi CEP menurut Konteks Indonesia Korupsi merupakan masalah sosial yang harus diberantas, namun kesulitan yang melekat dalam masalah ini adalah kesulitan mengukur aktivitas korupsi. Becker dan Stigler (1974) mengusulkan cara untuk mengurangi korupsi yaitu melakukan kombinasi pemantauan dan hukuman yang tepat untuk mengendalikan korupsi dan ada alternative lain yang diusulkan adalah dengan meningkatkan partisipasi “akar rumput” oleh publik sebagai pemerhati tingkat lokal khususnya terkait dengan pelayanan publik.

Penelitian ini berupaya membangun konstruk Corruption Early Prevention (CEP) yaitu dirancang sebagai aplikasi sistem (berbasis Android). Filosofi utama CEP adalah mengakomodasi partisipasi masyarakat sebagai pertimbangan real-time pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan menetapkan keputusan sehingga dapat menjadi deteksi dini dan diharapkan mampu mendewasakan kapasitas sipil masyarakat. CEP berupaya untuk mempertimbangkan bagaimana mengukur dampak korupsi terhadap legitimasi sistem politik sebagai elemen utama dalam stabilitas politik yang demokratis. Dampak ini akurat, mengingat unsur masyarakat yang menjadi patokan adalah masyarakat di daerah tersebut. Maka, CEP adalah pencegahan dini korupsi dalam konteks Indonesia. Ini dikategorikan oleh tiga dimensi yang Penilaian eksternal dan internal yang membentuk indeks pencegahan korupsi, dan ketiga Dimensi adalah dimensi text mining sebagai validasi silang untuk temuan indeks pencegahan korupsi. Konstruksi CEP secara teoritis layak, valid dan dapat diandalkan oleh konten untuk dikembangkan dalam konteks pencegahan korupsi di Indonesia sebagai sistem pencegahan dini yang mendiagnosis Indonesia dan real time.

Hasil penelitian eksplorasi menunjukkan bahwa responden cenderung merespon sangat setuju untuk membangun CEP dalam konteks Indonesiasecara signifikan pada α <0,5. hasil penelitian konfirmatori menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam menanggapi konstruksi CEP dalam konteks masyarakat Indonesia jika dilihat dari perbedaan responden berdasarkan bidang keilmuan dan jenis kelamin secara signifikan pada α <0,5. Rekomendasi penelitian ini adalah perwujudan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi melalui kebijakan “berbasis pemberantasan korupsi pencegahan melalui sistem yang terintegrasi sebagai peringatan dini serta deteksi dini pada pencegahan korupsi yang mengarah pada terjalinnya sinergi dan integrasi pendidikan sistem yang dapat merevolusi mental manusia di Indonesia untuk anti korupsi. Berdasarkan temuan CEP membangun sebagai sistem pendukung keputusan Presiden Republik Indonesia, desain “sistem dan proses bisnis” dapat direalisasikan dan menjadi valid untuk diimplementasikan dengan membangun IT sistem secara real time untuk Presiden Republik Indonesia.

Buku Bacaan

[1] Akbar, Y., & Vukan, V. (2014). Explaining corruption: The role of national culture and its
implications for international management. Cross Cultural & Strategic Management, 191-218.

[2] Alexander, R. (2006). The role of whistleblowers in the fight against economic crime. Journal of
Financial Crime, 131-138.

[3] Bastin, G., & Townsend, P. (2006). Whistleblowers — A Legitimate Role in Corporate Life?.
Journal of Financial Crime, 179-182.

[4] Cadot, O. (1987). Corruption as a gamble. Journal of Public Economics, 33(2), 223–244.

[5] Crosby, N., Devaney, S., & Law, V. (2008). Benchmarking and valuation issues in measuring
depreciation for European office markets. Property Management & Built Environment, 7-28.

[6] Ernstson, H., Sörlin, S., & Elmqvist, T. (2008). Social movements and ecosystem services – The
role of social network structure in protecting and managing urban green areas in Stockholm.
Ecology and Society, 13(2), 38–48.

[7] Field, O. P. (1926). Criminology. Sutherland. Indiana Law Journal, 228-243.

[8] Godkin, E. L. (1868). University of Northern Iowa Commercial Immorality and Political
Corruption Author ( s ): E . L . Godkin. The North American Review, 107(220), 248-266.

[9] Hooker, J. (1994). Corruption from a cross-cultural perspective, Cross Cultural & Strategic
Management, 251-267.

[10] Lambsdorff, J. G. (2016). How Corruption Affects Productivity, (September).

[11] Mangan, C., Pietroni, M., & Porter, D. (2016). “Being brave”: A case study of how an innovative
peer review approach led to service improvement. Journal of Integrated Care, 201-213.

[12] McMullan, M. (1961). A theory of corruption based on a consideration of corruption in the public
services and governments of British colonies and ex-colonies in West Africa. The Sociological
Review.

[13] Mo, P. H. (2001). Corruption and Economic Growth.1, 79, 66–79.

[14] Ohwer, A. (2009). Measuring corruption: A comparison between the transparency international’s
corruption perception index and the world bank’s worldwide governance indicators, 42–52.

[15] Olken, B. A. (2007). Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia.
Journal of Political Economy, 115(2), 200–249.

[16] Quah, J. S. (2016). Combating corruption in six Asian countries: A comparative analysis. Asian
education and development studies, 244-262.

[17] Sasmoko, & Ying, Y. (2015). Construct validity in neuroresearch. Advanced Science Letter, 21,
2438 – 2441

[18] Simanjuntak, F. (2008). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap, (Mcc)

[19] Transparency International Indonesia. (2016). Survei Persepsi Korupsi 2015. Riset, 1.

[20] Vanasco, R. R. (1998). Fraud auditing. Managerial Auditing Journal, 4-71.

 

 

Prof.Dr. Ir Sasmoko, M.Pd